Selasa, 12 Januari 2016

Korupsi dan Desentralisasi

Desentralisasi atau otonomi daerah merupakan perubahan paling mencolok setelah reformasi digulirkan. Desentralisasi di Indonesia oleh banyak pengamat ekonomi merupakan kasus pelaksanaan desentralisasi terbesar di dunia, sehingga pelaksanaan desentralisasi di Indonesia menjadi kasus menarik bagi studi banyak ekonom dan pengamat politik di dunia. Kompleksitas permasalahan muncul kepermukaan, yang paling mencolok adalah terkuangnya sebagian kasus-kasus korupsi para birokrat daerah dan anggota legislatif daerah. Hal ini merupakan fakta bahwa praktek korupsi telah mengakar dalam kehidupan sosial-politik-ekonomi di Indonesia. Pemerintah daerah menjadi salah satu motor pendobrak pembangunan ekonomi.

Namun, juga sering membuat makin parahnya high cost economy di Indonesia, karena munculnya pungutan-pungutan yang lahir melalui Perda (peraturan daerah) yang dibuat dalam rangka meningkatkan PAD (pendapatan daerah) yang membuka ruang-ruang korupsi baru di daerah. Mereka tidak sadar, karena praktek itulah, investor menahan diri untuk masuk ke daerahnya dan memilih daerah yang memiliki potensi biaya rendah dengan sedikit praktek korup. Akibat itu semua, kemiskinan meningkat karena lapangan pekerjaan menyempit dan pembangunan ekonomi di daerah terhambat. Boro-boro memacu PAD.

Terdapat beberapa bobot yang menentukan daya saing investasi daerah. Pertama, faktor kelembagaan. Kedua, faktor infrastruktur. Ketiga, faktor sosial – politik. Keempat, faktor ekonomi daerah. Kelima, faktor ketenagakerjaan. Hasil penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menjelaskan pada tahun 2002 faktor kelembagaan6, dalam hal ini pemerintah daerah sebagi faktor penghambat terbesar bagi investasi hal ini berarti birokrasi menjadi faktor penghambat utama bagi investasi yang menyebabkan munculnya high cost economy yang berarti praktek korupsi melalui pungutan-pungutan liar dan dana pelicin marak pada awal pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah tersebut.

Dan jelas ini menghambat tumbuhnya kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan di daerah karena korupsi di birokrasi daerah. Namun, pada tahun 2005 faktor penghambat utama tersebut berubah. Kondisi sosial-politik dominan menjadi hambatan bagi tumbuhnya investasi di daerah7. Pada tahun 2005 banyak daerah melakukan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung yang menyebabkan instabilisasi politik di daerah yang membuat enggan para investor untuk menanamkan modalnya di daerah. Dalam situasi politik seperti ini, investor lokal memilih menanamkan modalnya pada ekspektasi politik dengan membantu pendanaan kampanye calon-calon kepala daerah tertentu, dengan harapan akan memperoleh kemenangan dan memperoleh proyek pembangunan di daerah sebagai imbalannya. Kondisi seperti ini tidak akan menstimulus pembangunan ekonomi, justru hanya akan memperbesar pengeluaran pemerintah (government expenditure) karena para investor hanya mengerjakan proyek-proyek pemerintah tanpa menciptakan output baru diluar pengeluaran pemerintah (biaya aparatur negara). Bahkan akan berdampak pada investasi.Lihat harian Kompas, 13 juni 2006 ibid diluar pengeluaran pemerintah, karena untuk meningkatkan PAD-nya mau tidak mau pemerintah daerah harus menggenjot pendapatan dari pajak dan retrebusi melalui berbagai Perda (peraturan daerah) yang menciptakan ruang bagi praktek korupsi.

Titik tolak pemerintah daerah untuk memperoleh PAD yang tinggi inilah yang menjadi penyebab munculnya high cost economy yang melahirkan korupsi tersebut karena didukung oleh birokrasi yang njelimet. Seharusnya titik tolak pemerintah daerah adalah pembangunan ekonomi daerah dengan menarik investasi sebesar-besarnya dengan merampingkan birokrasi dan memperpendek jalur serta jangka waktu pengurusan dokumen usaha, serta membersihkan birokrasi dari praktek korupsi. Peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah), pengurangan jumlah pengangguran dan kemiskinan pasti mengikuti.

0 komentar:

Posting Komentar