Secara makro, eksistensi dakwah Islam senantiasa bersentuhan dan bergelut dengan realitas yang mengitarinya. Dalam perspektif historis, pergumulan dakwah Islam dengan realitas sosio-kultural menjumpai dua kemungkinan. Pertama, dakwah Islam mampu memberikan output (hasil, pengaruh) terhadap lingkungan dalam arti memberi dasar filosofi, arah, dorongan dan pedoman perubahan masyarakat sampai terbentuknya realitas social baru. Kedua, dakwah Islam dipengaruhi oleh perubahan masyarakat dalam arti eksistensi, corak dan arahnya. Ini berarti bahwa aktualitas dakwah ditentukan oleh system sosio-kultural. Dalam kemungkinan yang kedua ini, system dakwah dapat bersifat statis atau ada dinamika dengan kadar yang hampir tidak berarti bagi perubahan sosio-kultural.
Sepanjang sejarah Indonesia, kemungkinan-kemungkinan tersebut melekat secara silih berganti. Ketika dakwah Islam mulai menampakan Islam di Nusantara, ternyata telah dapat menciptakan realitas baru walaupun tidak mendasar dan menyeluruh. Karena hal ini berjalan bersama dengan sisa ajaran Animisme-Dinamisme dan Hindu yang sebegitu jauh telah melekat pada masyarakat Nusantara. Dalam fase ini, dakwah Islam dapat dikatakan memberikan pengaruh (out-put) terhadap lingkungan.
Perubahan social di Indonesia terus berlangsung sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Pada abad ke-XVII hingga pertengahan abad ke-XX, secara cultural masyarakat Barat modern menjadi agent of cange dan secara politis maupun cultural, Belanda menentukan corak dan arah perubahan social di Indonesia. Bersamaan dengan hal tersebut, Kristen mulai menampakan kegiatannya dengan memberikan pelayanan kongkrit kepada masyarakat. Sampai tahap ini, masalah yang dihadapi dakwah Islam semakin kompleks dan sebagai suatu system dilingkungi berbagai masalah social, keagamaan, politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya.
Dengan munculnya kenyataan sosio-kultural baru, lahirlah kesadaran baru di kalangan pendukung dakwah dan da’I secara silih berganti. Kesadaran ini ditandai dengan berdirinya lembaga-lembaga dakwah seperti Syarikat Islam dan Muhammadiyah. Meskipun secara detail kesadaran itu memiliki latar belakang yang berbeda-beda, tetapi ada “benang hijau” yang mempertemukan perbedaan itu, yaitu kesadaran trasendental untuk menanyakan kembali “apa yang seharusnya terjadi dalam kenyataan social menurut ajaran Islam” dengan “yang senyatanya terjadi dalam dalam relaitas” yang harus diubah oleh system dakwah. Dalam kerangka yang demikian maka dakwah Islam berada dalam proses “transendensi” dan “imanensi” yang diwuudkan dalam upaya mencari model yang mampu menggambarkan kenyataan secara jelas dan menudahkan dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
Sementara para da’I dan pendukung dakwah sedang mencari orientasi dalam menentukan model yang hendak digunakan, perubahan sosio-kultural yang digerakkan ilmu dan teknologi terus berlangsung. Dampak perubahan menyentuh langsung lembaga/organisasi dakwah yang ditandai dengan ketidakmampuan melihat masalah secara jelas, tema dakwah yang lama mulai kehilangan relevansinya dan model dakwah yang ada tidak dapat untuk melihat dan memecahkan masalah yang sudah semakin rumit. Sedangkan pembangunan nasional yang merupakan upaya perubahan social yang direncanakan, khusus dalam bidang agama belum memberikan alternative pembangunan sistem dakwah agar dapat berfungsi secara efektif dan efesien.
Sepanjang sejarah Indonesia, kemungkinan-kemungkinan tersebut melekat secara silih berganti. Ketika dakwah Islam mulai menampakan Islam di Nusantara, ternyata telah dapat menciptakan realitas baru walaupun tidak mendasar dan menyeluruh. Karena hal ini berjalan bersama dengan sisa ajaran Animisme-Dinamisme dan Hindu yang sebegitu jauh telah melekat pada masyarakat Nusantara. Dalam fase ini, dakwah Islam dapat dikatakan memberikan pengaruh (out-put) terhadap lingkungan.
Perubahan social di Indonesia terus berlangsung sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Pada abad ke-XVII hingga pertengahan abad ke-XX, secara cultural masyarakat Barat modern menjadi agent of cange dan secara politis maupun cultural, Belanda menentukan corak dan arah perubahan social di Indonesia. Bersamaan dengan hal tersebut, Kristen mulai menampakan kegiatannya dengan memberikan pelayanan kongkrit kepada masyarakat. Sampai tahap ini, masalah yang dihadapi dakwah Islam semakin kompleks dan sebagai suatu system dilingkungi berbagai masalah social, keagamaan, politik, ekonomi, pendidikan dan sebagainya.
Dengan munculnya kenyataan sosio-kultural baru, lahirlah kesadaran baru di kalangan pendukung dakwah dan da’I secara silih berganti. Kesadaran ini ditandai dengan berdirinya lembaga-lembaga dakwah seperti Syarikat Islam dan Muhammadiyah. Meskipun secara detail kesadaran itu memiliki latar belakang yang berbeda-beda, tetapi ada “benang hijau” yang mempertemukan perbedaan itu, yaitu kesadaran trasendental untuk menanyakan kembali “apa yang seharusnya terjadi dalam kenyataan social menurut ajaran Islam” dengan “yang senyatanya terjadi dalam dalam relaitas” yang harus diubah oleh system dakwah. Dalam kerangka yang demikian maka dakwah Islam berada dalam proses “transendensi” dan “imanensi” yang diwuudkan dalam upaya mencari model yang mampu menggambarkan kenyataan secara jelas dan menudahkan dalam memecahkan masalah yang dihadapi.
Sementara para da’I dan pendukung dakwah sedang mencari orientasi dalam menentukan model yang hendak digunakan, perubahan sosio-kultural yang digerakkan ilmu dan teknologi terus berlangsung. Dampak perubahan menyentuh langsung lembaga/organisasi dakwah yang ditandai dengan ketidakmampuan melihat masalah secara jelas, tema dakwah yang lama mulai kehilangan relevansinya dan model dakwah yang ada tidak dapat untuk melihat dan memecahkan masalah yang sudah semakin rumit. Sedangkan pembangunan nasional yang merupakan upaya perubahan social yang direncanakan, khusus dalam bidang agama belum memberikan alternative pembangunan sistem dakwah agar dapat berfungsi secara efektif dan efesien.
Akar permasalahannya terletak pada adanya kekosongan pemikiran dakwah sebagai ilmu yang berakibat kelangkaan teori dakwah untuk melihat kenyataan. Permasalahan fundamental ini kemudian melahirkan masalah dalam penyusunan strategi dan teknik dakwah di kalangan lembaga-lembaga dakwah. Hal ini karena tidak mungkin dapat merencanakan strategi dakwah dalam rangka memecahkan masalah yang semakin kompleks tanpa memiliki wawasan teoritis yang memadai. Sedangkan teknik dakwah akan kehilangan efektivitas dan efisiensi dalam merealisir Islam pada semua dataran kenyataan tanpa berangkat dari kerangka strategi yang jelas. Kemudian secara operasional kelemahan system dakwah di Indonesia selama ini, salah satu sebabnya tidak adanya kerjasama yang fungsional antara Perguruan Tinggi Dakwah dengan lembaga-lembaga dakwah. Perguruan tinggi mengembangkan wawasan teoritis dan lembaga-lembaga dakwah menyusun strategi-teknik dan merealisir usaha-usaha dakwah dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur, material dan spiritual yang diridhai Allah SWT. Dengan bahasa lain karena tidak adanya kesatuan antara teori, strategi dan teknik dalam perencanaan dan pelaksanaan dakwah Islam.
(Maria Ulfah, 2011, Makalah Ilmu Kalam, IAIN Antasari Banjarmasin, KI-BKI)
0 komentar:
Posting Komentar